MCNU Sidoraharjo | Adanya aksi sweeping warung makan saat Ramadhan acap kali mengundang ironi. Imbauanya, orang-orang dilarang makan di tempat umum demi menghilang dari penglihatan atau terciumnya aroma makanan.
Hal ini kerap kali dilakukan dengan embel-embel toleransi katanya. Coba kita berpikir sebentar! Mereka yang tidak wajib puasa juga punya hak untuk dihormati. Menyoal tentang puasa, bukankah ini adalah ibadah yang sangat personal? Lalu jika demikian, mengapa terjadi perbedaan yang mencolok di antara orang yang berpuasa atau tidak. Praktek agama adalah individu, termasuk puasa. Apakah ketika kaum muslim berpuasa, maka pihak yang memiliki keyakinan lain harus mengikutinya? Logikanya kan seperti itu.
Padahal, toleransi tidak hanya dilakukan kaum minoritas terhadap mayoritas, atau sebaliknya. Namun, toleransi harus dilakukan semua pihak untuk tercapainya kenyamanan dalam menjalankan ibadah masing-masing. Faktanya, kata toleransi yang diagung-agungkan malah beralih menjadi diskriminasi atas kepentingan-kepentingan yang sifatnya personal. “Apakah orang yang berpuasa harus dihargai? Bukankah orang yang berpuasa ataupun tidak itu sama-sama manusia yang memang patut dihargai?”. Seolah-olah umat muslim itu makhluk lemah, rapuh, mudah tergoda dan tidak punya kekuatan iman, sehingga jika ada restoran buka di siang hari, puasanya pasti batal. Haha, ironi!
Tiap tahun narasi akan himbauan “Tidak Boleh Sweeping Warung Makan” selalu dikeluarkan pemerintah atau dinas terkait, namun seringkali terjadi kecolongan. Dan yahh, bohong jika toleransi agama sedang baik-baik saja. Jelas sekali masih terdapat kesalahpahaman yang mencolok atas makna toleransi yang sesungguhnya. Kebijakan itu juga jelas berdampak pada pembatasan akses sosial masyarakat dalam bekerja atau berusaha. Kita harus sadar, di Indonesia tak hanya ada satu agama, maka toleransi antar umat beragama sudah menjadi sebuah keharusan.
Muslim Terhormat Versi Gus Dur
Hal ini pastinya bertolak belakang dengan ajaran Bapak Pluralisme kita, Gus Dur. Dilansir dari unggahan Jaringan Gusdurian di Twitter, diceritakan, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah ditanya.
“Gus, besok puasa. Izin kami mau sweeping warung makan yang masih buka demi menghormati yang berpuasa,” tanya seorang murid kepada Gus Dur, Dengan gaya santainya, beliau menjawab. “Hmmmm… Tidak perlu. Jika kita muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa,” jawab Gus Dur.
Penjelasan bijak Gus Dur yang satu ini seperti menjadi sebuah wejangan yang cocok bagi masyarakat Indonesia saat ini, mengingat seringnya terjadi aksi sweeping warung makan saat memasuki bulan Ramadhan. Merazia warung menunjukkan lemahnya sikap toleran. Padahal, dalam islam juga terdapat pengecualian untuk beberapa kelompok yang tidak diwajibkan berpuasa, seperti wanita hamil, wanita haid, sakit, musafir, orang lanjut usia dan kelompok non-muslim. Jika hal ini dilakukan berarti mereka telah abai pada mereka yang tidak wajib berpuasa.
Toh, tidak mungkin juga mereka yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan akan secara demonstratif mengumbar kegiatan makan dan minum mereka. Aksi sweeping-sweeping ini menunjukkan bahwa puasa hanya sekadar menyoal perut dan tenggorokan. Mereka lupa esensi puasa, yakni menahan diri. Karenanya, orang yang berpuasa harus mengendalikan dirinya, bukan (mengendalikan) orang lain. Sesungguhnya Allah SWT memberi cobaan kepada hambanya yang taat dan beriman agar kualitas keimanan dan ketakwaannya makin bertambah. Karena sejatinya keimanan dan hakikat puasa yang sebenarnya akan didapatkan tatkala mereka dengan belajar sabar dan ikhlas dengan cobaan.
Sampai sini kita tahu, bahwa puasa tak sekadar menyoal haus atau dahaga. Namun, pentingnya perbaikan kualitas puasa yang dinilai dari seberapa kuat menahan hawa nafsu atas berbagai cobaan.
Penulis : Putri Dwi Yanti
Editor: Achmad Ali
Keren, mantabs. Smoga Media Center NU Sidoraharjo semakin maju dan berkembang ❤️❤️❤️
Amiiin