Media NU Sidoraharjo | Pernah nggak sih kepikiran, baju yang kalian beli itu dibuat sama siapa? Atau kenapa tren fashion berubah cepet banget sampai bikin kita ngerasa harus selalu beli yang baru? Dibalik barang-barang yang kita pakai, ada sisi gelap yang sering kita abaikan. Mulai dari budaya konsumsi yang nggak sehat, eksploitasi sumber daya, sampai limbah yang numpuk nggak karuan. Yuk, kita bahas bareng-bareng!
Kok Bisa Kita Terbiasa?
Kita hidup di zaman di mana belanja udah bukan sekadar kebutuhan, tapi bagian dari gaya hidup. Fast fashion bikin tren ganti tiap minggu, influencer pamer belanja sudah menjadi hal yang wajar, dan kita pun jadi terbiasa belanja barang yang sebenernya nggak terlalu dibutuhin.
Ini yang namanya normalisasi konsumsi berlebihan. Sekarang sales udah nggak door to door buat nawarin produk! Media sosial dan iklan-iklan bisa kita lihat dimana-mana, seakan-akan apa yang pernah kita cari akan selalu muncul sambil teriak ‘ayo cepet beli akuuu!’. Padahal, makin sering kita beli, makin besar juga dampak negatifnya—dan yang kena imbas bukan cuma kita. Coba sekarang kita mikirnya lebih jauh.
Rantai Kapitalisme: Dari Alam Berujung di Tempat Sampah
Kita sering banget cuma lihat produk akhirnya aja,baju keren, gadget canggih, skincare glowing. Tapi pernah kepikiran nggak sih, barang yang kita pakai itu sebenernya melewati proses panjang yang penuh dengan eksploitasi, polusi, dan trik biar kita terus belanja?
|Baca Juga|
1. Eksploitasi: Nyedot Sumber Daya Sampai Kering
Sebagai orang awam, kita jarang mikir gimana cara mereka ngambil bahan baku buat barang-barang yang kita pakai. Yang kita tau, baju dari katun, skincare ada kandungan alaminya, dan HP dari logam. Tapi gimana cara mereka dapetin semua itu? Kita nggak pernah tau detailnya, karena semuanya sengaja ditutup-tutupi biar kita nggak kepikiran buat boikot, karena memang separah itu alam kita dikeruk.
2. Produksi: Limbah, Polusi, dan Para Pekerja
Setelah bahan baku didapet, mereka masuk ke tahap produksi. Nah, di sini juga banyak banget sisi gelap yang nggak kita lihat.
Indonesia masuk dalam 10 besar produsen garmen dan tekstil secara global dengan mengerahkan sekitar tiga juta orang secara lokal. Yang gak kalah membanggakannya, Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi dalam polusi air yang disebabkan oleh industri tekstil di antara negara-negara G20 dan diperkirakan menghasilkan 3,9 juta ton limbah tekstil pada 2030. Kalau udah gini, kita harus apa!? Belum lagi polusi udara parah. Pabrik-pabrik gede ngebuang gas beracun ke udara, bikin orang-orang sekitar lebih rentan kena penyakit paru-paru.
|Baca Juga|
Safari Ramadan di Masjid Perumahan Berkat Land: PRNU Ajak Memakmurkan Masjid
Pabrik fast fashion di negara berkembang sering dibilang “sweatshop” karena kerja di sana kayak neraka. Kalian sering denger pabrik garmen kan? Yang kerjanya ditarget, kalian coba aja baca-baca di Quora.com, bagaimana mereka —pekerja/mantan pekerja pabrik garment— curhat keluh kesah kerja di sana.
Tapi semua ini dibungkus rapi. Kita cuma lihat hasil akhirnya—produk bersih, wangi, dan menarik.
3. Distribusi: Nyampenya Jauh, Emisinya Parah
Setelah diproduksi, barang harus dikirim ke kita. Tapi proses distribusi ini juga punya dampak gede. Kapal dan pesawat bikin polusi gede. Barang dari China atau Bangladesh dikirim ke negara lain pake kapal raksasa yang ngeluarin emisi karbon gila-gilaan. Btw, kalian udah tau belum kalau kaum kapitalis ini memilih produksi di negara miskin dan upanya rendah? Lebih parahnya kerjanya lebih bisa dari 20 jam. Nah loh, bayangin! Yah, apalagi kalau bukan untuk menekan pengeluaran dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Liciknya, mereka udah punya peta produk mereka sendiri, kalau emang udah nggak laku bakal dijual ke negara miskin, kalau udah mentok nggak lakunya produk langsung dibuang ke negara yang punya gurun luas buat tempat pemusnahan, contohnya di daerah Chile (China)—GWS deh lo!
Truk-truk nambah kemacetan dan polusi. Setelah nyampe di pelabuhan, barang harus dikirim ke gudang atau toko. Bayangin ribuan truk hilir mudik tiap hari, dan itu semua pake bahan bakar fosil. Intinya, sebelum barang nyampe ke kita, jejak karbonnya udah panjang banget!
4. Konsumsi: Biar Cepet Dibeli, Biar Cepet Dibuang
Setelah barang sampai ke tangan kita, liciknya kaum kapitalis nggak berhenti sampai di situ. Mereka sengaja bikin produk yang cepet rusak atau ngebosenin, dan faktanya 99% barang yang dibeli akan berakhir ditempat sampah dalam waktu 6 bulan.
Fast fashion bikin tren gila-gilaan. Baju yang baru kita beli bulan lalu udah dibilang “out of style,” jadi kita tergoda buat beli lagi. Produk sengaja dibuat cepat rusak, HP atau elektronik lainnya sering dibuat dengan suku cadang yang susah diganti, biar kita lebih milih beli baru daripada reparasi.
Kemasan berlebihan. Banyak produk dikemas dengan plastik atau bahan lain yang langsung dibuang setelah dibuka. Hasilnya? Limbah numpuk di TPA. Barang yang udah ngelewatin proses panjang ini akhirnya berakhir jadi sampah, yang sering kali nggak bisa terurai dalam waktu singkat.
Jadi, Kita Mau Sampai Kapan Begini?
Sistem ini udah dirancang biar kita terus konsumsi tanpa mikir panjang. Kita beli, kita pake sebentar, lalu kita buang dan siklusnya terus berulang. Tapi kita nggak harus ikut arus! Kalau Menurut Prof. Martin Saligmen (Profesor Positive Psychology), ada 3 cara agar sesorang bisa merubah kebiasaan berbelanja ; Terapi 21 Hari.
- Delayed Gratification (Memperlambat/Menunda). Ketika kalian pengen beli sesuatu, jangan langsung dibeli. Kalian harus tunda itu selama 3 x 24 jam. Kalau emang masih kepikiran, its okay masukin ke keranjang dulu.
- Behavioral Replacement (Perilaku Pengganti). Misal kalian punya kebiasaan sebelum tidur scroll marketplace, coba kalian ganti kebiasaan itu ke kegiatan lagi, contoh nonton film. Atau misal kalian udah punya kebiasaan ke Mall seminggu sekali, coba kalian ganti main-main ke Gor buat olahraga. Yah, intinya kasih jarak dari hal-hal yang membuat kalian mengeluarkan uang berbelanja. Tapi, intinya bukan hanya di uang ya, tapi ada di tulisanku yang sebelumnya.
- Budget Allocation (Alokasi Dana). Kalian harus punya persentase dana yang jelas. Sekian persen untuk kebutuhan primer, sekian persen untuk nabung, dan sekian persen buat belanja. Katakanlah kalian punya budget 200 ribu buat belanja, yaudah harus itu yang kalian pake nggak boleh lebih.
Intinya jangan mudah terbawa arus tren dan iklan. Mereka pengen kita nggak sadar, tapi sekarang kita udah tau. Mau terus jadi korban atau mulai berubah?
Penulis : Putri Dwi Yanti
Editor: Ali